http://www.karir-up.com/2008/06/perry-tristianto/
Perry Tristianto - The King of Factory Outlet
June 9, 2008 | artikel ini dibaca 596 kali | versi cetak
Anda yang suka berbelanja pakaian mungkin tak akan percaya kalau sebagian busana merk terkenal dijual dengan harga super miring. Barangnya ditanggung bagus. Harganya pun hanya sekitar 30 persen dari harga di luar negeri. Untuk mendapatkannya, anda tinggal datang ke The Big Price Cut, di Graha Manggala Siliwangi, jalan Aceh 66 Bandung. Outlet busana sisa ekspor ini memang tak pernah sepi pengunjung yang sebagian besar orang Jakarta.
Perry Tristianto, sang pemiliknya, dikenal sebagai pekerja ulet. Pria kelahiran Bandung tahun 1960 ini memulai usaha sejak masih duduk di bangku kuliah jurusan Administrasi Niaga Universitas Parahyangan Bandung (Unpar) dengan membuka peternakan ayam di rumah orang tuanya, jalan Garuda Bandung.
Jumlah ayam dipeternakannya mencapai 1500 ekor. ”Omsetnya sekitar 600 ribu perbulan, ” kenang Perry. Usaha yang lancar itu kemudian ditinggalkan Perry ketika ia berangkat ke Singapura untuk melanjutkan studi di Jurusan Administrasi Bisnis, Stanford College. ”Terus terang kuliah yang di Unpar saya tinggalkan setelah naik tingkat 2, karena saya pikir bakal lama kuliah di Unpar, bisa 5-6 tahun baru lulus. Sementara di Singapura Cuma 3 tahun, ”kata Perry.
Sekembalinya dari Singapura, tahun 1984, anak sulung dari tiga bersaudara ini bekerja sebagai direktur di Alpine Record, sebuah perusahaan rekaman kaset. Gajinya waktu itu sudah Rp. 500 ribu per bulan. Namun itu pun hanya berlangsung 4 tahun. Perusahaan rekaman tersebut akhirnya gulung tikar karna tak mampu lagi membayar royalti kepada para artis.
Perry ”memutar” otaknya. Kebetulan putra sulung Tedja Prayogi, Kepala Bagian Valas Bank Panin Bandung ini banyak kenal dengan toko kaset. Ia banting setir menjadi pengusaha kaos bergambar penyanyi kelas dunia seperti Shakatak, Al Jarreau, dan Michael Frank. Modalnya di dapat dari tabungan gaji selama bekerja di Alpine Record. ”Kebetulan waktu itu belum banyak saingan, ”kata Perry yang menggemari musik jazz dan country. Bekerja seorang diri, kaos-kaos itu kemudian dititipkan pada toko-toko kaset di Jakarta dan Bandung.
Yang menarik, hampir saban ada konser penyanyi manca negara di Balai Sidang Senayan Jakarta, Perry selalu hadir. Misalnya ketika konser AL Jerreau dan Tina Turner. Tentu tidak sebagai penonton melainkan pedagang kaos bergambar artis tersebut. Seorang diri, Perry berjualan di emperan atau halaman parkir. ”benar-benar kenangan yang indah,” katanya.
Usaha kaos itu lumayan berkembang. Perry kemudian membuka sebuah outlet kaos kecil-kecilan di rumah orang tuanya di Jalan Cihampelas – kawasan Jeans terbesar di Bandung kala itu. Ia juga memproduksi busana jeans dengan merk Blue Notes. Penjualan waktu itu bisa mencapai 20-30 ribu potong perbulan.
Belakangan Blue Notes berhasil masuk ke department store terkenal untuk ikut dipasarkan. Tapi Perry kemudian kecewa dan memutuskan kerja sama itu. ”Kerja sama dengan perusahaan besar terkadang tidak enak karena mereka menentukan segalanya sampai ke masalah harga jual dan keuntungan yang bisa saya peroleh.”kata Perry.
Usaha jeansnya waktu itu pun sempat goyang. Pasalnya, toko yang mengambil barang Perry baru bisa melunasi 4 bulan setelah barang laku. ”Cash flow saya goyang. Saya banyak memberikan utang sementara risiko saya besar. ”ujarnya.
Suami Ellen Berkah ini kemudian membuka bisnis busana secara retail di 14 perumahan di Jakarta dan Bandung. Tujuannya agar bisa secepatnya memperoleh fresh money dari penjualan. Pemilihan lokasi di perumahan sebenarnya mencontek konsep Indomart: mendekatkan diri ke konsumen. Bisnis retail berbentuk warung pakaian yang diberi nama Gudang Stock ini ternyata mendapat sambutan luar biasa.
Tahun 1995, Perry menoleh peluang baru yaitu busana sisa ekspor. Dengan modal nekat dan pinjaman Rp. 250 juta dari Bank Danamon, ia banting stir membuka Outlet besar khusus busana sisa ekspor, seluas 200 m2 di Graha Manggala Siliwangi atau persis di sebelah Stadion Siliwangi Bandung. ”Karena dana saya terbatas, saya bikin sistem bagi hasil dengan yang punya gedung,” kata ayah dua anak ini. Outlet itu diberi nama ”The Big Price Cut” dengan motto ”We cut the price but not the quality”. Nama unik ini secara tak sengaja ditemukan Perry ketika membaca buku. “Saya tak ingat lagi buku apa tapi itu motto sebuah toko,” kata pria yang memang kutu buku itu.
Setahun kemudian ia menutup semua usaha retailnya agar bisa berkonsentrasi ke outlet di Graha Manggala Siliwangi. Dari Bandung, Perry memperluas usahanya ke Surabaya, Makassar Bali dan Jakarta. Namun karena susahnya melakukan pengawasan, setahun kemudian cabang di Surabaya, Makassar dan Bali ditutupnya. “Biaya perjalanan ke kota itu saja sudah besar sementara saya harus sering ngontrol,” kata pria yang selalu berpakaian casual.
Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia, Perry justru menuai keuntungan banyak karena makin banyak konsumen yang berbelanja di tokonya. “Sebelum krismon yang belanja umumnya kelas menengah-bawah namun setelah krisis, kelas atas pun berbelanja di sini sebab untuk membeli busana impor mereka harus mengeluarkan biaya jauh lebih tinggi,” katanya.
Tahun 1999, Perry membuka lagi sebuah cabang di Jalan Otten Bandung dengan nama FOS (Factory Outlet Store). ”Sengaja saya memakai nama lain agar orang tidak jenuh,” tuturnya. Lalu di tahun 2000, Perry membuka satu lagi outletnya di Jalan Buahbatu dengan nama Stock Town. Berbeda di Graha Manggala Siliwangi yang area parkirnya luas, FOS dan Stocks Town tak lain adalah sebuah rumah yang dikontrak Perry untuk kemudia “disulap” menjadi outlet.
Pembukaan FOS berdampak pada makin banyak orang yang membuka usaha sejenis. Hingga akhir tahun 2000 saja tercatat setidaknya telah ada 50 FO (factory outlet) di Bandung – beberapa di antaranya malah bertetangga atau terletak di satu jalan. “yang penting ada rumah tinggal yang agak luas. Dia tinggal modifikasi dikit, jadi deh outlet. Makanya tanpa bermaksud tinggi hati, kamilah yang pertama kali membuka pusat busana sisa ekspor yang besar, dan, sejak pembukaan FOS itulah istilah factory outlet menjadi terkenal. Saya sendiri juga prihatin karena banyak yang kemudian latah,”kata Perry.
Menjamurnya FO di mata Perry tentu punya dampak bagus karena konsumen makin punya banyak pilihan ketika berbelanja pakaian. Tapi dampak negatif pun timbul. Seperti bertambah semrawutnya kota Bandung yang saat ini berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa. ”makanya saya sangat berharap Pemda bisa bertindak tegas, terlebih dalam pemberian ijin harus selektif benar. ”tukasnya.
Meski kini usahanya berkembang pesat namun anak Bandung ini memprediksi akan ada masa konsumen merasa jenuh dengan busana sisa ekspor. Makanya saya lalu membuka outlet di Jalan dago Bandung yang sifatnya semi butik. Barangnya tak melulu sisa ekspor tapi ada juga yang impor, ”kata Perry. Outlet bernama ”Rich & Famous” ini dibuka bulan Oktober 2000. Berbeda dengan outlet Perry sekarang yang membidik pasar pasangan keluarga muda, ”Rich & Famous” menargetkan pasar kalangan selebritis dengan semboyan Celebrities Choice.
Beberapa celebritis dan public figure pernah berbelanja di sana. Sebut saja Chintami Atamanegara, Benjamin Mangkoedilaga, Ulfa Dwiyanti, Wynne Prakusya, Chandra Wijaya, Tony Gunawan dan Minarti Timur. “Target market yang jelas adalah kunci sukses usaha. Kita harus kreatif dan inovatif. There’s must something diffrence in our store. Perlu juga menggunakan konsep marketing terpadu yang terdiri dari produk, harga, distribusi dan promosi, “kata Perry yang gemar membaca buku marketing itu.
Kejenuhan juga diakibatkan dengan makin menjamurnya FO di kota-kota besar lainnya, terutama Jakarta. Bahkan di Lampung sekarang ini telah berdiri FO. ”Bandung akan jenuh. Kisahnya akan sama dengan saat Cihampelas jenuh. Dulu di tahun 80-an, orang berpikir kalau Cihampelas adalah satu-satunya kawasan jeans terkemuka di Indonesia. Artinya, kalau mau membeli jeans yang berkualitas baik dengan model oke, datang ke Cihampelas Bandung. Namun ketika jeans mulai masuk department store dan bisa didapatkan di mana-mana maka orang lalu kembali berpikir, ngapain harus cape-cape ke Cihampelas kalau barangnya bisa di dapatkan di kota mereka. Akibatnya ciri khas Cihampelas luntur dengan sendirinya,” jelas Perry yang juga konsultan untuk beberapa FO di luar Bandung.
Hingga saat ini, sekitar 70 persen konsumen outlet Perry memang warga Jakarta. Mengapa? ”Orang Jakarta memuliki brand kanowledge yang baik. Mereka tahu persis kalau merk kayak GAP, Calvin Klein. Dsb itu sangat mahal di luar negeri. Di FO, harganya cuma 25-30 persen dari harga di luar negeri. Tentu dong mereka beli di FO, ” kata Perry sembari menambahkan target pasarnya adalah kalangan menengah intelek yang punya brand knowledge bagus.
Untunglah pengalaman menjadi supplier department store terkenal membuatnya memiliki jaringan usaha yang cukup luas, terutama dalam hal pengadaan barang. ”Bagi saya supplier adalah tulang punggung usaha. Tanpa mereka, saya ngga bisa seperti sekarang. Makanya saja jadikan mereka mitra bisnis. Masalah harga dan pembayaran saya buat sedemikian mudah dan menguntungkan kedua pihak. Tidak main semena-mena kayak pengusaha besar yang selalu menekan supplier, ” kata Perry yang kini memiliki lebih dari 100 supplier. Usahanya terus berkembang ditengah persaingan dan booming FO. Dalam sebulan, sekitar 100 ribu potong pakaian laku terjual di beberapa outletnya. Harganya bervariasi antara Rp. 5-100 ribu. Yang paling laku adalah busana seharga Rp. 20-30 ribu.
Busana yang terjual Perry tak hanya buatan Indonesia. Ada juga busana sisa ekspor dari Singapore, Malaysia, Kamboja, Filipina, Srilanka, RRC, dan Afrika Selatan yang diimpornya. Merk-merk terkenal seperti Calvin Klein, Versace, Tommy Hilfiger, Banana Republic, Gap, Yves Saint Laurent, tersedia di tokonya. ”Orang banyak salah mengerti tentang busana sisa ekspor. Mereka berpikir kalau sisa ekspor pasti jelek, padahal tidak selalu begitu. Ada gradenya. Kami hanya menjual yang grade A atau sama dengan kualitas barang yang dikirim ke luar negeri, ”lanjut Perry.
Beberapa merk tertentu malah hanya ada di outlet Perry alias tidak dijual di outlet busana sisa ekspor milik orang lain. ”Bisnis begini kan sama dengan menjual taste (selera). Menjual kepuasan kepada konsumen. Kalau mau berkembang kita harus punya sesuatu yang tak dipunyai orang lain. Ekslusif, ”begitu alasan Perry. Toh, Perry tak mau serakah. Ia malah menjadi big supplier untuk beberapa outlet kecil serupa. ” Ada pengunjung yang membeli kemudian dijual ke luar Pulau Jawa. Ada juga yang mereka kirim ke Rusia dan Nigeria, ”sambung Perry.
Sukses di bisnis toh tak membuat Perry tinggi hati. Ia bahkan tak suka penampilan formal. ”Saya suka busana yang casual.” kata pria yang sering memakai celana jeans itu. Bahkan kalau lagi beresin barang di gudang, ia hanya memakai kaos, celana pendek dan sandal jepit.
Membuka toko pakaian ternyata ada keuntungan tersendiri buat Perry dan keluarga. ”Kami ngga perlu tuh beli pakaian di toko lain,” katanya sambil tersenyum lebar. Maksudnya, kalau butuh baju baru, ya, tinggal ambil dari toko sendiri.
”Seperti kata pepatah “ada gula ada semut” maka tidak sedikit orang yang kemudian meniru pola bisnis kami. Menjamurnya FO memberikan dampak positif bagi konsumen sehingga mereka makin punya banyak pilihan, sayangnya tidak semua FO berbisnis dengan konsep yang jelas. Beberapa konsep kami malah dicontek mentah-mentah, seperti design interior toko”, ujar bapak dua anak ini.
Fenomenanya Factory Outlet di Bandung saat ini terdapat lebih kurang 200 FO di Bandung. Sebagian besar berlokasi di kawasan Bandung Tengah, yakni di Jln LLRE Martadinata, Jl. Aceh, Jl. Sukajadi, dan Jl. Sumatera. Beberapa terdapat pula di kawasan Bandung Utara seperti Jl. Ir. H. Juanda dan Jl. Setiabudi. Sedangkan agak ke selatan terdapat di Jl. Peta, Jl. Buah Batu, dan Jl. Soekarno Hatta.
Untuk menghadapi persaingan FO, para pemilik FO melakukan berbagai cara di antaranya dengan mendesain penataan FO yang unik dan melengkapi koleksi-koleksi busana ataupun barang-barang yang dimilikinya dengan baju dan barang yang berkualitas. Termasuk membuka FO yang membuka pasar khusus seperti konsumen remaja dan anak-anak (Bale Anak), termasuk FO khusus lelaki (Formen). Seperti diakui Perry, ia memiliki kiat tersendiri dalam menghadapi persaingan, salah satunya adalah dengan selalu mengutamakan barang yang benar-benar berkualitas, eksklusif dan stylist. Bahkan ia berani menambah koleksi barangnya bukan hanya dari Indonesia tetapi juga dari Thailand, India, China sampai Turki. Menurutnya busana-busana keluaran China semakin mendominasi pasar saat ini sehingga ia harus mencari alternatif produsen selain China.
Pionir FO ini juga menilai, kecepatan transportasi akan berdampak cukup serius pada sektor jasa. Warga Jakarta yang biasanya setiap akhir pekan bermain dan menginap untuk menikmati kota Bandung, kemungkinan mulai memilih pulang pergi mengingat waktu tempuh menjadi singkat.
Untuk membuat para pengunjung dari luar kota Bandung tidak bosan datang ke kota Bandung maka Perry berusaha selalu menciptakan ide-ide kreatifnya seperti membuka Rumah Sosis, awalnya ia mengajak kawannya untuk berjualan sosis di depan outlet-outletnya, ternyata sosis itu cukup disenangi masyarakat, maka ia menciptakan sebuah resto keluarga yang diberi nama Rumah Sosis Di mana menunya dirancang sangat sesuai cita rasa sosis yang memang enak, lezat dan gurih.
“Saya ingin bikin sesuatu terus, saya memikirkannya sendiri, saya melihat ada lahan luas dan banyak ternak kuda kemudian saya terpikir untuk memulai usaha wisata kuda”. Maka terciptalah De Ranch yang memberikan nuansa lain dengan berwisata naik kuda ala koboi yang bertempat di kawasan perbukitan Maribaya Lembang Bandung Utara.
“Pada prinsipnya, yang abadi di dunia ini hanyalah perubahan. Maka kami pun harus siap untuk mengikuti perubahan (dinamis). Dan untuk anda, para konsumen setia, kami akan mempersembahkan yang terbaik”, ujar Perry menutup pembicaraannya. (rahmat saepulloh)
Jumat, 22 Agustus 2008
Perry Tristianto - The King of Factory Outlet
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar